5
Solusi Menolak Perilaku Antisosial pada Gen Z
Oleh Nurul Jubaedah,
S.Ag.,S.Pd.,M.Ag (Guru SKI di MTsN 2 Garut)
Pemuda saat ini adalah bagian dari
Generasi Z. Mereka berusia 10 hingga 27 tahun pada tahun 2022. Gen Z adalah generasi yang hampir
digital, jadi menggunakan ruang digital sebagai alat pendidikan penting bagi institusi
pendidikan. Saat ini, pembelajaran menggunakan teknologi seperti e-learning atau blended learning telah diterapkan.
Menyikapi revolusi industri 4.0, Indonesia berupaya meningkatkan tiga
level pemahaman, yaitu level teknologi untuk memahami pengoperasian mesin,
penerapan teknologi (coding/pemrograman, kecerdasan buatan dan prinsip-prinsip
engineering), literasi data untuk membaca, menganalisis dan menggunakan
informasi (Big Data) di dunia digital, dan pengetahuan manusia tentang
komunikasi, kolaborasi, pemikiran kritis, keterampilan kreativitas dan inovasi
serta keterampilan kepemimpinan, kerja tim, dll.
Gen Z memiliki karakteristik yang berbeda
dengan generasi lainnya. Meskipun penggunaan teknologi dalam
pembelajaran masih sulit untuk
meningkatkan literasi di kalangan Gen Z karena mereka cenderung berjuang
untuk komunikasi langsung dan penghapusan nilai-nilai budaya dan agama.
Gen Z adalah generasi yang
telah terpapar kemajuan teknologi sejak lahir. Pendidikan mereka bahkan
didukung oleh teknologi dan internet. Lahir dari tahun 1995 hingga 2012, mereka
tidak pernah memiliki kesempatan untuk hidup tanpa teknologi dan internet.
Keberadaan teknologi dan internet telah menjadi bagian penting dari kehidupan
dan aktivitas mereka sehari-hari. Bagi Gen Z, teknologi dan internet adalah hal
yang harus ada, bukan inovasi seperti
yang dilihat generasi lain.
Kemajuan teknologi dan
pesatnya arus informasi melalui Internet telah mempengaruhi kehidupan Gen Z.
Mereka terbiasa berkomunikasi menggunakan kemudahan yang mereka miliki,
berkonsultasi informasi tentang berbagai hal dari dunia luar melalui Internet,
bermain game, dan bahkan membuka toko melalui sebuah benda di tangan mereka,
yaitu smartphone (gadget).
Hampir semua Generasi Z
memiliki smartphone, baik kaya maupun
miskin, yang tinggal di perkotaan dan pedesaan. Dapat dikatakan bahwa Gen Z
terpapar penggunaan smartphone setiap hari. Tingkat kecanduan smartphone Gen
Z lebih tinggi daripada televisi. Mereka
akan lebih kesal jika tidak bisa mengakses internet daripada kehilangan uang
saku.
Gen Z sangat akrab dengan
media sosial. Hasil penelitian Palley 2012 dalam Turner (2015) memperlihatkan
bahwa 60% responden Gen Z memulai kehidupan sosial mereka secara online, 50%
Gen Z lebih menyukai berkomunikasi secara online daripada berbicara langsung
dikehidupan nyata, bahkan 70% Gen Z lebih nyaman berkomunikasi dengan temannya
secara online.
Mengingat bagaimana Gen Z menggunakan teknologi dan Internet dalam
kehidupan sehari-hari mereka, mereka dilatih untuk terlibat dengan banyak topik
atau masalah sekaligus. Kondisi ini mungkin disebabkan oleh sinkronisasi
kuatnya keterampilan motorik yang dimiliki
Gen Z, terutama pada mata, tangan, dan telinga dibandingkan dengan
generasi sebelumnya.
Menggunakan teknologi khususnya smartphone, beberapa Gen Z
menggunakannya untuk memberdayakan serta menghibur. Namun, hal ini berbeda
dengan beberapa Gen Z lainnya yang masih
memiliki kesadaran digital yang sangat
rendah, sehingga biasanya mereka hanya menggunakan smartphone untuk konsumsi.
Generasi Z dalam hal pembelajaran
menggunakan teknologi, meskipun mereka
umumnya menerima dan cukup antusias, interaksi intensif antara Gen Z dan guru mereka tetap
penting. Hal ini disebabkan oleh karakteristik Generasi Z yang cenderung
menginginkan snapshot, kekinian, rentang perhatian yang pendek, dan
kemampuan yang rendah untuk
memverifikasi informasi.
Untuk meningkatkan literasi, Generasi Z masih sangat membutuhkan banyak
latihan di dunia nyata, serta menggunakan teknologi untuk menemukan informasi
nyata tentang apa yang terjadi di negara mereka atau di dunia luar. Diperlukan
penelitian lebih lanjut untuk menentukan bagaimana model pembelajaran yang
menggunakan teknologi lebih tepat untuk meningkatkan literasi manusia di Gen Z.
Memang penggunaan teknologi yang berlebihan justru akan
mendorong Gen Z kehilangan kemampuan untuk berinteraksi dan bersosialisasi
secara tatap muka.
5
Solusi Menolak Perilaku Antisosial pada Gen Z :
1. Menyerap informasi. Ini adalah cara paling tradisional untuk mengajarkan nilai-nilai. Cerita dan informasi tentang budaya Indonesia merupakan sumber yang kaya untuk menemukan nilai-nilai kehidupan. Kisah yang bisa dihadirkan untuk Gen Z adalah tentang kegagalan karena mengandung nilai-nilai inti yang bisa menjadi pelajaran. Untuk menciptakan motivasi, fasilitator dapat melakukannya melalui contoh-contoh positif dari orang-orang sukses dan berprestasi. Bagaimanapun,
Anda harus meminta pendidik untuk menemukan materi atau media yang sesuai
yang menurut mereka relevan dengan masalah yang mereka hadapi dan yang akan membantu mereka melihat dampaknya, serta
pentingnya nilai dan tindakan mereka sendiri. Di akhir cerita, ada baiknya
untuk merenungkan cerita yang disajikan, mencari nilai yang dikandungnya. (terutama
cerita-cerita islami).
2.
Menemukan
nilai-nilai dunia nyata. Nilai ini dapat dicapai dengan melihat fenomena komunitas kecil di jalan,
memberikan sumbangan kecil atau membantu sebagai cara untuk menemukan nilai
cinta diri untuk orang lain yang bahkan tidak mereka kenal. Dengan memberi dan
melihat kebenaran dalam kenyataan, kita menyadari bahwa pada kenyataannya
setiap individu memiliki akal sehat.
Melihat ke bawah atau memandang mereka yang hidupnya lebih sulit akan membuka
hati dan pikiran untuk bertindak lebih
dewasa dan bijaksana. (Hablum Minan Nas).
3.
Mendiskusikan
dan membagikan pengalaman hidup yang bermakna. Menciptakan ruang untuk diskusi terbuka dan saling menghormati adalah bagian
penting dari proses ini. Pertukaran cerita, interaksi tertentu yang kemudian
dapat lebih bermakna karena dalam proses ini seseorang dapat menemukan nasib atau kejadian umum lawan bicara, atau
moderator dapat merangsang diskusi yang sesuai dengan masalah. Sehingga
seseorang dapat berpikir bahwa masalah yang sedang dialaminya juga dirasakan oleh
orang lain. Tujuan dari diskusi adalah untuk menemukan solusi dan saling
mendukung. (Memupuk Jiwa Empati)
4.
Keterampilan
sosial dan emosi pribadi. Berbagai keterampilan batin diajarkan, seperti
kedamaian, rasa hormat dan cinta, dengan memperkenalkan latihan
relaksasi/konsentrasi. Latihan relaksasi/fokus ini membantu untuk
"merasakan" nilai. Latihan ini membantu seseorang untuk menenangkan
diri, mengurangi stres, meningkatkan konsentrasi, dan mengatur emosi diri yang
merupakan keterampilan penting dalam menemukan cara untuk beradaptasi dan berkomunikasi dengan diri sendiri yang pada akhirnya dapat membuka
ruang untuk sukses. Kegiatan lain membangun pemahaman tentang kualitas positif
individu, mengembangkan keyakinan bahwa
"Saya membuat perbedaan", memungkinkan mereka untuk mengeksplorasi
perasaan mereka sendiri dan belajar tentang emosi orang lain dan mempromosikan
kepositifan dan tanggung jawab diri. (Self Love).
5. Keterampilan komunikasi interpersonal. Keterampilan yang dibangun untuk kecerdasan emosional ini termasuk dalam serangkaian kegiatan yang membantu memahami peran rasa sakit, ketakutan, dan kemarahan serta konsekuensinya dalam hubungan mereka dengan orang lain. Aktif berkomunikasi, bermain kooperatif, dan menyelesaikan proyek bersama adalah kegiatan lain yang membantu membangun keterampilan komunikasi interpersonal. Untuk membangun cinta dalam dirinya sendiri, seseorang diminta untuk berpikir kembali ketika masalah dimulai dan membayangkan apa yang akan terjadi jika dia menggunakan nilai cinta. Keterampilan ini dapat dikembangkan dengan merenungkan apa yang telah dilakukan seseorang di masa lalu dan kemudian mencari kebijaksanaan atas apa yang terjadi.
Program atau kegiatan pendidikan
nilai dilaksanakan dengan tujuan mengatasi dekadensi moral yang disebabkan oleh
jejaring sosial merupakan kegiatan yang mudah, murah dan sederhana yang dapat
dilakukan oleh siapa saja. Kegiatan ini akan optimal dengan adanya pendamping dalam
proses menemukan nilai-nilai yang ada dalam dirinya. Agar proses rekonsiliasi
kerusakan moral dapat menciptakan generasi yang mencintai perdamaian, rasa
hormat dan toleransi, tanggung jawab dan kerjasama, kebahagiaan dan kejujuran,
kerendahan hati dan kesederhanaan, dan
harga diri yang wajar dan bersatu dan itu adalah bagian dari kebaikan sosial
global. (Refleksi)
Simpulan
Penggunaan teknologi yang
berlebihan justru akan mendorong Gen Z kehilangan kemampuan untuk berinteraksi
dan bersosialisasi secara tatap muka. Dekadensi
moral merupakan penyimpangan sosial yang marak terjadi pada generasi muda saat
ini yang disebabkan oleh berbagai faktor mulai dari pengaruh lingkungan,
keluarga atau sosial media. Pengaruh atas ketiga faktor tersebut banyak di
dominasi oleh faktor sosial media karena ketidakbijakan pengguna dalam
memanfaatkannya yang kini menjadi sebuah problematika baru. Maka dari itu perlu
sebuah soslusi tepat yang diusung agar permasalahan dekadensi moral
bisa terminimalisir.
12
nilai kehidupan yang diupayakan dapat membangun peradaban dunia yang cinta akan
kedamaian, memiliki rasa hormat dan toleransi, tanggung jawab dan kerja sama,
kebahagiaan dan kejujuran, kerendahan hati dan kesederhanaan, serta kebebasan
dan persatuan. Nilai nilai tersebut diharapkan menjadi kompas sebagai acuan
dalam memetakan perjalanan dan tujuan hidup seseorang khususnya Gen Z
agar lebih bermakna dan lebih luasnya lagi dapat membangun insan-insan manusia
secara keseluruhan yang bermutu
Daftar
Pustaka
Christiani, L. C., &
Ikasari, P. N. (2020). Generasi Z dan pemeliharaan relasi antar generasi dalam
perspektif budaya Jawa. Jurnal komunikasi dan kajian media, 4(2),
84-105.
Hastini, L. Y., Fahmi,
R., & Lukito, H. (2020). Apakah Pembelajaran Menggunakan Teknologi dapat
Meningkatkan Literasi Manusia pada Generasi Z di Indonesia?. Jurnal
Manajemen Informatika (JAMIKA), 10(1), 12-28.
Nurhuda, T. (2018).
Peran Budaya Kolektif pada Generasi āZā sebagai Upaya Membangun Karakter Anak
Bangsa.
Subowo, A. T. (2021).
Membangun Spiritualitas Digital Bagi Generasi Z. DUNAMIS: Jurnal
Teologi dan Pendidikan Kristiani, 5(2), 379-395.
Zis, S. F., Effendi, N.,
& Roem, E. R. (2021). Perubahan perilaku komunikasi generasi milenial dan
generasi z di era digital. Satwika: Kajian Ilmu Budaya Dan Perubahan
Sosial, 5(1), 69-87.
Biodata
Nurul Jubaedah lahir di
Garut, 19 Mei 1978. Mengajar di MTsN 2 Garut. Pendidikan : D1 Akuntansi (1995),
S1 PAI UNIGA ( 2001), S1 Bahasa Inggris STKIP Siliwangi Cimahi (2007), S2 PAI
UIN SGD Bandung (2012). Prestasi : Pembimbing KIR : Membimbing 27
judul Karya Ilmiah Remaja kategori sosial budaya, menghantarkan peserta didik
juara 1,2,3, dan harapan 1 kategori Sejarah, Geografi, dan
Ekonomi (tingkat Provinsi), juara harapan 1 dan 2 (tingkat Nasional)
(Juli 2019-September 2021), guru berprestasi tahap 1 di GTK Madrasah (2021),
lolos tahap 3 AKMI KSKK Madrasah (Februari 2022). Karya : 4
buku solo, 20
buku antologi (Januari-Juli
2022). Memiliki 540
konten pendidikan di canal youtube dan 100 artikel (Oktober 2021-Agustus 2022). Blog
: http://nuruljubaedah6.blogspot.com/. Instagram (nj_78). Email : nuruljubaedah6@gmail.com. Whatsapp : 081322292789.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar