Jumat, 31 Januari 2025

BAB V Walisanga dalam Dakwah Islam di Indonesia (Pertemuan 2)

 

Pertemuan 2

 

1.         Sunan Bonang

Sunan Bonang nama lainnya adalah Maulana Makhdum Ibrahim adalah putera dari Sunan Ampel, ia merupakan sepupu dari Sunan Kalijaga dan cucu dari Maulana Malik Ibrahim. Sekembalinya dari Pasai, Sunan Bonang mendirikan pesantren di daerah Tuban dan santrinya berasal dari berbagai daerah di Tanah Air.

Ajaran Sunan Bonang berintikan pada filsafat 'cinta'('isyq). Sangat mirip dengan kecenderungan Jalalludin Rumi. Menurut Bonang, cinta sama dengan iman, pengetahuan intuitif (makrifat) dan kepatuhan kepada Allah SWT atau haq al yaqqin. Ajaran tersebut disampaikannya secara populer melalui media kesenian yang disukai masyarakat. Dalam hal ini, Sunan Bonang bahu-membahu dengan murid utamanya, Sunan Kalijaga. 

Sunan Bonang banyak melahirkan karya sastra berupa suluk, atau tembang tamsil. Salah satunya adalah "Suluk Wijil" yang tampak dipengaruhi kitab Al Shidiq karya Abu Sa'id Al Khayr (wafat 899). Suluknya banyak menggunakan tamsil cermin, bangau atau burung laut. Sebuah pendekatan yang juga digunakan oleh Ibnu Arabi, Fariduddin Attar, Rumi serta Hamzah Fansuri. 

Sebagaimana corak perjuangan wali yang lain, Sunan Bonang juga sangat memperhatikan tradisi dan budaya masyarakat. Pada saat itu, masyarakat Jawa dikenal memiliki kegemaran terhadap seni pewayangan.

Karenanya Sunan Bonang memanfaatkan media wayang untuk menyampaikan dakwahnya. Syair lagu gamelan ciptaan para wali dan Sunan Bonang pada khususnya berisi tentang ajaran tauhid dan peribadatan. Salah satu tembang ciptaan Sunan Bonang adalah tembang “durma”.

Setelah ayahnya wafat, ia bermusyawarah dengan  para wali untuk membahas kepemimpinan di pesantren milik ayahnya. Hasil musyawarah para wali menunjuk Raden Fatah sebagai penerus kepemimpinan di pesantren Ampel Denta. Sunan Bonang memberikan pendidikan Islam secara mendalam kepada Raden Fatah (putera raja Majapahit). Pada masa selanjutnya, Raden Fatah dinobatkan menjadi sultan pertama Kerajaan Demak.

Sunan Bonang wafat tahun 1525 M dan dimakamkan di Tuban, daerah yang menjadi basis perjuangan dakwahnya.

2.         Sunan Drajat

   Sunan Drajat nama lainnya Raden Kosim Sunan Mahmud, Sunan Mayang Madu, Sunan Muryapada, Raden Imam, Maulana Hasyim, Syekh Masakeh, Pangeran Syarifuddin, Pangeran Kadrajat, dan Masaikh Munat adalah putra Sunan Ampel saudara Sunan Bonang dan menantu Sunan Gunung Jati. Ia lahir di Ampel Denta kira-kira tahun 1470 M. Sunan Drajat dikenal juga dikenal dengan Sunan Sedayu karena ia dimakamkan di Sedayu.

Ketika para wali memutuskan untuk mengadakan pendekatan kultural terhadap masyarakat Jawa dalam menyiarkan agama Islam, Sunan Drajat juga mempunyai andil. Ia menciptakan tembang Jawa yang sampai saat ini masih banyak digemari masyarakat, yaitu tembang Pangkur, Macapat, dan Cariosi Jaka Pertaka.

Dalam pengajaran tauhid dan akidah, Sunan Drajat mengambil cara ayahnya: langsung dan tidak banyak mendekati budaya lokal. Meskipun demikian, cara penyampaiannya mengadaptasi cara berkesenian yang dilakukan Sunan Muria. Terutama seni suluk. Maka ia menggubah sejumlah suluk, di antaranya adalah suluk petuah “berilah tongkat pada si buta/beri makan pada yang lapar/beri pakaian pada yang telanjang’. Sunan Drajat juga dikenal sebagai seorang bersahaja yang suka menolong. Di pondok pesantrennya, ia banyak memelihara anak-anak yatim-piatu dan fakir miskin.

Empat pokok ajaran Sunan Drajat adalah: Paring teken marang kang kalunyon lan wuta; paring pangan marang kang kaliren; paring sandang marang kang kawudan; paring payung kang kodanan. Artinya: berikan tongkat kepada orang buta; berikan makan kepada yang kelaparan; berikan pakaian kepada yang telanjang; dan berikan payung kepada yang kehujanan.

Sunan Drajat mempunyai tiga isteri yaitu Dewi Sufiyah (Putri Sunan Gunung Jati), Dewi Kemuning (dari Desa Drajat), Retnayu Condrosekar ( putri Adipati Kediri, Raden Suryadilaga).

Beliau wafat dan dimakamkan di desa Drajad, kecamatan Paciran Kabupaten Lamongan Jawa Timur.

3.         Sunan Kudus

Sunan Kudus nama aslinya adalah Ja’far Sadiq, Ia adalah putra pasangan Sunan Ngudung dan Syarifah (adik Sunan Bonang). Sunan Ngudung adalah putra Sultan di Mesir yang berkelana sampai ke Daerh Jawa. Sewaktu kecil Sunan Kudus dipanggil Raden Undung dan juga dijuluki Raden Amir Haji sebab ia pernah bertindak sebagai pemimpin jemaah haji.

Sunan Kudus adalah putra Raden Usman Haji yang menyiarkan Islam di daerah Jipang Panolan, Blora, Jawa Tengah. Konon menurut silsilahnya, Sunan Kudus masih keturunan Nabi Muhammad Saw.

Sunan Kudus terkenal karena keluasan ilmu agama Islammya dan sebagai seorang pujangga. Karena keluasan ilmunya itu dia mendapat julukan waliyyul ‘ilmi orang yang kuat ilmunya.

Dia  menguasai ilmu-ilmu agama terutama fikih, usul fikih, tauhid, hadis, tafsir serta logika. Ia menjalankan dakwahnya di daerah Kudus dan sekitarnya, banyak santri dari berbagai pelosok Nusantara yang datang kepadanya untuk memuntut ilmu.

Ia berguru kepada Kyai Telingsing (The Ling Sing) ulama dari China yang datang bersama dengan Laksamana Cheng Hoo. Ia juga berguru kepada Sunan Kali Jaga, kemudian ia berkelana ke berbagai daerah tandus di Jawa Tengah seperti Sragen, Simo hingga Gunung Kidul. Cara berdakwahnya pun meniru pendekatan Sunan Kalijaga: sangat toleran pada budaya setempat. Cara penyampaiannya bahkan lebih halus. Itu sebabnya para wali yang kesulitan mencari pendakwah ke Kudus yang mayoritas masyarakatnya pemeluk teguh-menunjuknya. Cara Sunan Kudus mendekati masyarakat Kudus adalah dengan memanfaatkan simbol-simbol Hindu dan Budha. Hal itu terlihat dari arsitektur masjid Kudus. Bentuk menara, gerbang dan pancuran/padasan wudhu yang melambangkan delapan jalan Budha. Sebuah wujud kompromi yang dilakukan Sunan Kudus. Suatu waktu, ia memancing masyarakat untuk pergi ke masjid mendengarkan tabligh-nya. Untuk itu, ia sengaja menambatkan sapinya yang diberi nama Kebo Gumarang di halaman masjid. Orang-orang Hindu yang mengagungkan sapi, menjadi simpati. Apalagi setelah mereka mendengar penjelasan Sunan Kudus tentang surat Al Baqarah yang berarti “sapi betina”. Sampai sekarang, sebagian masyarakat tradisional Kudus, masih menolak untuk menyembelih sapi. Sunan Kudus juga menggubah cerita-cerita ketauhidan. Kisah tersebut disusunnya secara berseri, sehingga masyarakat tertarik untuk mengikuti kelanjutannya. Sebuah pendekatan yang tampaknya mengadopsi cerita 1001 malam dari masa kekhalifahan Abbasiyah. Dengan begitulah Sunan Kudus mengikat masyarakatnya. Bukan hanya berdakwah seperti itu yang dilakukan Sunan Kudus. Sebagaimana ayahnya, ia juga pernah menjadi Panglima Perang Kesultanan Demak. Ia ikut bertempur saat Demak, di bawah kepemimpinan Sultan Prawata, bertempur melawan Adipati Jipang, Arya Penangsang

Terdapat kisah juga yang menyebutkan bahwa Sunan Kudus pernah belajar di Baitul Maqdis, Palestina. Ketika belajar di sana, ia berjasa memberantas penyakit yang menelan banyak korban. Atas Jasanya, ia diberi ijazah wilayah (daerah kekuasaan) di palestina. Sunan Kudus  mengharapkan hadiah tersebut dipindahkan ke Jawa. Oleh amir (penguasa setempat), permintaan itu dikabulkan. Sekembalinya ke Jawa, ia mendirikan sebuah masjid di daerah Loran pada tahun 1549 M. Masjid inilah yang kemudian dikenal dengan nama Masjid Al-Aqsa atau Al-Manar. Oleh Sunan Kudus, daerah sekitar masjid diganti pula namanya menjadi Kudus, yang diambil dari nama sebuah kota di Palestina yaitu Al-Quds.

Soal Latihan

1.         Tuliskan biografi singkat Sunan Bonang

2.         Sebutkan empat pokok ajaran Sunan Drajat !

3.         Bagaiman cara sunan Kudus dalam mendekati masyarakat Kudus sehingga masyarkat tertarik terhadap Islam ?

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

BAB VII Biografi Tokoh Pendiri Organisasi Keagamaan di Indonesia (Uji Kompetensi)

  Uji Kompetensi 1 Pilihlah salah satu jawaban yang paling benar dengan memberi tanda silang (x) pada salah satu hurufa, b, c atau d pada ...