Pertemuan 2
1.
Sunan Bonang
Sunan Bonang nama lainnya adalah Maulana Makhdum
Ibrahim adalah putera dari Sunan Ampel, ia merupakan sepupu dari Sunan Kalijaga
dan cucu dari Maulana Malik Ibrahim. Sekembalinya dari Pasai, Sunan Bonang
mendirikan pesantren di daerah Tuban dan santrinya berasal dari berbagai daerah
di Tanah Air.
Ajaran Sunan Bonang berintikan pada filsafat
'cinta'('isyq). Sangat mirip dengan kecenderungan Jalalludin Rumi. Menurut
Bonang, cinta sama dengan iman, pengetahuan intuitif (makrifat) dan kepatuhan
kepada Allah SWT atau haq al yaqqin. Ajaran tersebut disampaikannya secara
populer melalui media kesenian yang disukai masyarakat. Dalam hal ini, Sunan
Bonang bahu-membahu dengan murid utamanya, Sunan Kalijaga.
Sunan Bonang banyak melahirkan karya sastra berupa
suluk, atau tembang tamsil. Salah satunya adalah "Suluk Wijil" yang
tampak dipengaruhi kitab Al Shidiq karya Abu Sa'id Al Khayr (wafat 899).
Suluknya banyak menggunakan tamsil cermin, bangau atau burung laut. Sebuah
pendekatan yang juga digunakan oleh Ibnu Arabi, Fariduddin Attar, Rumi serta
Hamzah Fansuri.
Sebagaimana corak perjuangan wali yang lain, Sunan
Bonang juga sangat memperhatikan tradisi dan budaya masyarakat. Pada saat itu,
masyarakat Jawa dikenal memiliki kegemaran terhadap seni pewayangan.
Karenanya Sunan Bonang memanfaatkan media wayang
untuk menyampaikan dakwahnya. Syair lagu gamelan ciptaan para wali dan Sunan
Bonang pada khususnya berisi tentang ajaran tauhid dan peribadatan. Salah satu
tembang ciptaan Sunan Bonang adalah tembang “durma”.
Setelah ayahnya wafat, ia bermusyawarah dengan para wali untuk membahas kepemimpinan di
pesantren milik ayahnya. Hasil musyawarah para wali menunjuk Raden Fatah
sebagai penerus kepemimpinan di pesantren Ampel Denta. Sunan Bonang memberikan
pendidikan Islam secara mendalam kepada Raden Fatah (putera raja Majapahit).
Pada masa selanjutnya, Raden Fatah dinobatkan menjadi sultan pertama Kerajaan
Demak.
Sunan Bonang wafat
tahun 1525 M dan dimakamkan di Tuban, daerah yang menjadi basis perjuangan
dakwahnya.
2.
Sunan
Drajat
Sunan Drajat nama
lainnya Raden Kosim Sunan Mahmud, Sunan Mayang Madu, Sunan Muryapada, Raden
Imam, Maulana Hasyim, Syekh Masakeh, Pangeran Syarifuddin, Pangeran Kadrajat,
dan Masaikh Munat adalah putra Sunan Ampel saudara Sunan Bonang dan menantu
Sunan Gunung Jati. Ia lahir di Ampel Denta kira-kira tahun 1470 M. Sunan Drajat
dikenal juga dikenal dengan Sunan Sedayu karena ia dimakamkan di Sedayu.
Ketika para wali memutuskan untuk mengadakan
pendekatan kultural terhadap masyarakat Jawa dalam menyiarkan agama Islam,
Sunan Drajat juga mempunyai andil. Ia menciptakan tembang Jawa yang sampai saat
ini masih banyak digemari masyarakat, yaitu tembang Pangkur, Macapat, dan
Cariosi Jaka Pertaka.
Dalam pengajaran tauhid dan akidah, Sunan Drajat
mengambil cara ayahnya: langsung dan tidak banyak mendekati budaya lokal.
Meskipun demikian, cara penyampaiannya mengadaptasi cara berkesenian yang
dilakukan Sunan Muria. Terutama seni suluk. Maka ia menggubah sejumlah suluk,
di antaranya adalah suluk petuah “berilah tongkat pada si buta/beri makan pada
yang lapar/beri pakaian pada yang telanjang’. Sunan Drajat juga dikenal sebagai
seorang bersahaja yang suka menolong. Di pondok pesantrennya, ia banyak memelihara
anak-anak yatim-piatu dan fakir miskin.
Empat pokok ajaran Sunan Drajat adalah: Paring
teken marang kang kalunyon lan wuta; paring pangan marang kang kaliren; paring
sandang marang kang kawudan; paring payung kang kodanan. Artinya: berikan
tongkat kepada orang buta; berikan makan kepada yang kelaparan; berikan pakaian
kepada yang telanjang; dan berikan payung kepada yang kehujanan.
Sunan Drajat mempunyai tiga isteri yaitu Dewi
Sufiyah (Putri Sunan Gunung Jati), Dewi Kemuning (dari Desa Drajat), Retnayu
Condrosekar ( putri Adipati Kediri, Raden Suryadilaga).
Beliau wafat dan dimakamkan di desa Drajad,
kecamatan Paciran Kabupaten Lamongan Jawa Timur.
3.
Sunan Kudus
Sunan Kudus nama aslinya adalah Ja’far Sadiq, Ia
adalah putra pasangan Sunan Ngudung dan Syarifah (adik Sunan Bonang). Sunan
Ngudung adalah putra Sultan di Mesir yang berkelana sampai ke Daerh Jawa.
Sewaktu kecil Sunan Kudus dipanggil Raden Undung dan juga dijuluki Raden Amir
Haji sebab ia pernah bertindak sebagai pemimpin jemaah haji.
Sunan Kudus adalah putra Raden Usman Haji yang
menyiarkan Islam di daerah Jipang Panolan, Blora, Jawa Tengah. Konon menurut
silsilahnya, Sunan Kudus masih keturunan Nabi Muhammad Saw.
Sunan Kudus terkenal karena keluasan ilmu agama
Islammya dan sebagai seorang pujangga. Karena keluasan ilmunya itu dia mendapat
julukan waliyyul ‘ilmi orang yang kuat ilmunya.
Dia
menguasai ilmu-ilmu agama terutama fikih, usul fikih, tauhid, hadis,
tafsir serta logika. Ia menjalankan dakwahnya di daerah Kudus dan sekitarnya,
banyak santri dari berbagai pelosok Nusantara yang datang kepadanya untuk
memuntut ilmu.
Ia berguru kepada Kyai Telingsing (The Ling Sing)
ulama dari China yang datang bersama dengan Laksamana Cheng Hoo. Ia juga
berguru kepada Sunan Kali Jaga, kemudian ia berkelana ke berbagai daerah tandus
di Jawa Tengah seperti Sragen, Simo hingga Gunung Kidul. Cara berdakwahnya pun
meniru pendekatan Sunan Kalijaga: sangat toleran pada budaya setempat. Cara
penyampaiannya bahkan lebih halus. Itu sebabnya para wali yang kesulitan
mencari pendakwah ke Kudus yang mayoritas masyarakatnya pemeluk teguh-menunjuknya.
Cara Sunan Kudus mendekati masyarakat Kudus adalah dengan memanfaatkan
simbol-simbol Hindu dan Budha. Hal itu terlihat dari arsitektur masjid Kudus.
Bentuk menara, gerbang dan pancuran/padasan wudhu yang melambangkan delapan
jalan Budha. Sebuah wujud kompromi yang dilakukan Sunan Kudus. Suatu waktu, ia
memancing masyarakat untuk pergi ke masjid mendengarkan tabligh-nya. Untuk itu,
ia sengaja menambatkan sapinya yang diberi nama Kebo Gumarang di halaman
masjid. Orang-orang Hindu yang mengagungkan sapi, menjadi simpati. Apalagi
setelah mereka mendengar penjelasan Sunan Kudus tentang surat Al Baqarah yang
berarti “sapi betina”. Sampai sekarang, sebagian masyarakat tradisional Kudus,
masih menolak untuk menyembelih sapi. Sunan Kudus juga menggubah cerita-cerita
ketauhidan. Kisah tersebut disusunnya secara berseri, sehingga masyarakat
tertarik untuk mengikuti kelanjutannya. Sebuah pendekatan yang tampaknya
mengadopsi cerita 1001 malam dari masa kekhalifahan Abbasiyah. Dengan begitulah
Sunan Kudus mengikat masyarakatnya. Bukan hanya berdakwah seperti itu yang
dilakukan Sunan Kudus. Sebagaimana ayahnya, ia juga pernah menjadi Panglima
Perang Kesultanan Demak. Ia ikut bertempur saat Demak, di bawah kepemimpinan
Sultan Prawata, bertempur melawan Adipati Jipang, Arya Penangsang
Terdapat kisah juga yang menyebutkan bahwa Sunan
Kudus pernah belajar di Baitul Maqdis, Palestina. Ketika belajar di sana, ia
berjasa memberantas penyakit yang menelan banyak korban. Atas Jasanya, ia
diberi ijazah wilayah (daerah kekuasaan) di palestina. Sunan Kudus mengharapkan hadiah tersebut dipindahkan ke
Jawa. Oleh amir (penguasa setempat), permintaan itu dikabulkan. Sekembalinya ke
Jawa, ia mendirikan sebuah masjid di daerah Loran pada tahun 1549 M. Masjid inilah
yang kemudian dikenal dengan nama Masjid Al-Aqsa atau Al-Manar. Oleh Sunan
Kudus, daerah sekitar masjid diganti pula namanya menjadi Kudus, yang diambil
dari nama sebuah kota di Palestina yaitu Al-Quds.
Soal Latihan
1.
Tuliskan biografi singkat
Sunan Bonang
2.
Sebutkan empat pokok
ajaran Sunan Drajat !
3.
Bagaiman cara sunan Kudus
dalam mendekati masyarakat Kudus sehingga masyarkat tertarik terhadap Islam ?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar