Mudik dalam 3 Dimensi
(oleh Nurul Jubaedah, S.Ag.,S.Pd.,M.Ag guru SKI di MTsN 2
Garut)
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia ( Pusat Pembinaan dan
Pengembangan Bahasa Departemen Pendidikan Dan Kebudayaan : 1990 ), mudik berarti "Pulang ke udik atau pulang ke kampung
halaman bersamaan dengan datangnya hari Lebaran". Islam tidak mengenal
tradisi mudik. Selesai melaksanakan puasa selama sebulan penuh, umat Islam
hanya diperintahkan mengeluarkan zakat fitrah dan melaksanakan salat Id Fitri
baik di masjid ataupun di tanah lapang, serta dilarang berpuasa pada hari satu
Syawal tersebut. secara filosofi para perantau di kota-kota besar berbondong-bondong
kembali ke kampung halamannya (asal muasal) atau dikenal mudik.
Sementara menurut Umar Kayam (2002), mudik awal mulanya merupakan
tradisi primordial masyarakat petani Jawa. Keberadaannya jauh sebelum
kerajaan Majapahit. Awalnya kegiatan ini digunakan untuk membersihkan pekuburan
atau makam leluhur, dengan disertai doa bersama kepada dewa-dewa di Khayangan.
Tradisi ini bertujuan agar para perantau diberi keselamatan dalam mencari
rezeki dan keluarga yang ditinggalkan tidak diselimuti masalah. Namun, sejalan
masuknya pengaruh ajaran Islam ke tanah Jawa membuat tradisi ini lama-kelamaan
terkikis, karena dianggap perbuatan syirik terutama bagi mereka yang
menyalahgunakan dengan meminta kepada leluhur yang telah meninggal dunia.
Penulis menelaah mengenai mudik ditinjau dari tiga dimensi yaitu
dimensi spiritual, dimensi psikologis, dan dimensi sosial. Berikut
penjelasannya :
1. Dimensi Spiritual
Hakikat
mudik menurut Al-Qur’an terdapat dalam firman Allah SWT yang artinya :
“Dan bersegeralah kamu kepada ampunan dari Tuhanmu dan kepada surga yang
luasnya seluas langit dan bumi yang disediakan untuk orang-orang yang
bertakwa.” (Q.S. Ali Imran: 133). Maksud dari ayat tersebut adalah menjalankan perintah Allah dan meninggalkan
larangan-Nya. Dalam kajian kesusastraan Arab, peniadaan ungkapan tersebut
adalah salah satu bentuk keistimewaan bahasa Al-Qur’an yang tujuannya adalah
untuk meringkas.
Kata “maghfirah”
(ampunan) disebutkan dalam bentuk nakirah (tak tertentu) untuk
menunjukkan bahwa ampunan yang dimaksud adalah ampunan hakiki dan agung dari
Allah SWT. yang salah satu syaratnya adalah keislaman. Pada ayat ini, Allah
diungkap dengan ungkapan “Rabbikum/Tuhanmu”. Kata “rabb-rububiyyah”
digunakan untuk konteks Allah sebagai pencipta, pemelihara, dan pengurus.
Karena pencipta, pemelihara, dan pengurus, tentu Allah Mahakaya, Mahakuasa,
Mahabesar, Maha Mengetahui, dan Maha Mendengar. Jadi, adalah pantas bersegera
menuju ampunan dari Dzat Yang Mahasegalanya.
Mudik yang hakiki adalah pulang menuju kampung
akhirat dengan membawa perbekalan ampunan dari Allah dan bekal pahala untuk
menempati surga-Nya. Inilah mudik yang tidak akan ada peristiwa kembali lagi. Sekali sudah
mudik ke akhirat, maka tidak akan ada jalan lagi kembali ke dunia. Mudik hakiki
perlu dipersiapkan karena tempat yang akan dituju adalah “keabadian”, apakah di
neraka atau di surga. Sugesti mudik hakiki yang baik ditengarai dengan tawaran
menempati surga yang luasnya seluas langit dan bumi. Ini tawaran sangat tinggi
mengingat fasilitas yang ditawarkan di dalamnya pun sangat banyak dan variatif,
2.
Dimensi Psikologis
Pada tahun 1970-an fonema dan istilah mudik
lebaran mengemuka kembali ke permukaan. Saat itu, Jakarta merupakan
satu-satunya kota besar di Indonesia. Orang dari desa beramai-ramai datang ke
Jakarta untuk mencari pekerjaan dan mengubah nasib. untuk mereka yang sudah
mendapat pekerjaan, mereka akan mendapatkan jatah libur panjang. Biasanya,
libur panjang itu jatuh pada hari besar seperti Hari Raya Idul Fitri. Jadilah
momen lebaran ini digunakan untuk mudik atau pulang kampung dan bersilaturahmi
dengan keluarga, juga mereka selalu menyempatkan diri untuk ziarah dan
membersihkan kuburan leluhur.
Meskipun kini, teknologi semakin maju, sudah
ada handphone, internet, hingga teleconference yang memudahkan komunikasi dari
jarak jauh. Namun, meskipun biaya komunikasi lewat handphone dan internet sudah
terjangkau, masyarakat merasa tradisi mudik belum dapat tergantikan. Menurut
sosiolog Universitas Gajah Mada Arie Sudjito ada beberapa hal yang menyebabkan
teknologi tidak bisa menggantikan tradisi mudik. Salah satunya, disebabkan
teknologi tersebut belum menjadi bagian dari budaya yang mendasar di Indonesia,
terutama pada masyarakat pedesaan. Sehingga para perantau rela berdesak-desakan
mengantre tiket, kereta dan pesawat hanya demi tiba di kampung halaman sebelum
Lebaran. Namun, bukan berarti tradisi mudik tidak bisa hilang. Tradisi mudik
bisa saja hilang, namun membutuhkan waktu yang relatif lama.
Mudik dalam perspektif psikologi adalah
bagian kebutuhan fsikologis manusia yang harus dipenuhi (Moslow) jika esensi
mudik adalah untuk silaturahmi dan melepas rindu dengan keluarga dan sahabat.
Kebutuhan mudik sulit terkikis dan belum tergantikan oleh mudahnya alat
komunikasi seperti : handphone, telegram, email, sky dan teleconfrence. Lebaran
asli tradisi dan budaya Indonesia, namun ada beberapa negara yang memiliki
kesamaan dengan mudik seperti : China, India, Arab Saudi, Turki dan Malasyia.
3.
Dimensi Sosial
Ayat yang menegaskan tentang hubungan mudik
dengan jalinan silaturahmi merefleksikan Ukuwah Islamiyah seperti yang
ditegaskan dalam ayat berikut :
Artinya
: “Sesungguhnya orang-orang mukmin adalah bersaudara. Karena itu,
damaikanlah kedua saudara kalian, dan bertakwalah kalian kepada Allah supaya
kalian mendapatkan rahmat”. (QS. Al Hujurat Ayat 10)
Terdapat 4 hal yang menjadi tujuan orang untuk melakukan mudik dan sulit digantikan oleh teknologi. Pertama, mencari berkah dengan bersilaturahmi dengan orangtua, kerabat, dan tetangga. Kedua, terapi psikologis. Kebanyakan perantau yang bekerja di kota besar memanfaatkan momen lebaran untuk refreshing dari rutinitas pekerjaan sehari-hari. Sehingga ketika kembali bekerja, kondisi sudah fresh lagi. Ketiga, mengingat asal usul. Banyak perantau yang sudah memiliki keturunan, sehingga dengan mudik bisa mengenalkan mengenai asal-usul mereka. Dan keempat, adalah unjuk diri. Banyak para perantau yang menjadikan mudik sebagai ajang unjuk diri sebagai orang yang telah berhasil mengadu nasib di kota besar (Arie Sudjito : 2012).
Kesimpulan
Mudik
secara bahasa berarti "Pulang ke udik atau pulang ke kampung halaman
bersamaan dengan datangnya hari Lebaran". Mudik secara hakiki adalah pulang menuju kampung akhirat
dengan membawa perbekalan ampunan dari Allah dan bekal pahala untuk menempati
surga-Nya. Esensi mudik adalah Ukuwah Islamiyah menjalin silaturahmi membangun
persaudaraan dan kebersamaan untuk melepas rindu di kampung kalaman tercinta.
Pertanyaannya : Apakah mudik tiga dimensi tersebut masih
berlaku bagi orang yang tidak pernah melakukan mudik selama sisa umurnya?.
Jawabannya bisa hubungi penulis di 081322292789. Sekian dan terima kasih. Salam
Literasi!
Daftar
Pustaka
Arie
Sudjito, Mudik Lebaran,Yogyakarta, Gajah Mada, 2012.
Hakikat Mudik dalam Islam Berdasarkan Tafsir Al-Qur'an - iqra.id oleh Prof. Dr. KH. Rosihon Anwar, M.Ag Al-Qur'an & HaditsQiroah
Sairin,
Sjafr. Perubahan Sosial Masyarakat Indonesia. Yogyakarta, Pustaka Pelajar
Offset.2002
Tim Penyusun Pusat
Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Balai Pustaka,
Cet ke 4, 1990.
Umar
Kayam, Seni.Tradisi, Masyarakat, Yogyakarta, Penerbit Pinus, 2002.
Biodata
Nurul Jubaedah lahir di Garut, 19 Mei 1978.
Pendidikan : D1 Akuntansi (1995), S1 PAI UNIGA ( 2001), S1 Bahasa Inggris
STKIP Siliwangi Cimahi (2007), S2 PAI UIN SGD Bandung (2012). Prestasi :
Pembimbing KIR : Membimbing 27 judul Karya Ilmiah Remaja kategori sosial
budaya, menghantarkan peserta didik juara 1,2,3, dan harapan 1 kategori
Sejarah, Geografi, dan Ekonomi (tingkat Provinsi), juara harapan 1 dan 2
(tingkat Nasional) (Juli 2019-September 2021), guru berprestasi tahap 1
di GTK Madrasah (2021), lolos tahap 3 AKMI KSKK Madrasah (Februari 2022). Karya
: 18 buku antologi (Januari-April 2022). Memiliki 540 konten pendidikan
di canal youtube dan website : 30 artikel (Oktober 2021-April
2022). Instagram (nj_78).
Mantao
BalasHapusMantap
BalasHapusMantap, semoga ilmu menulisnya bisa ditularkan kepada para pendidik di nusantara.
BalasHapus